Kamis, 02 Agustus 2012

MOZAIK 7

Bagus!! Nggak ada upacara hari ini. Hujan.. Hujan.. Hujan.. Asiiikkk! Senin yang menyenangkan. Tak bisa lagi kubayangkan jika aku harus melangkahkan kaki ke depan wajah-wajah norak siswa di sekolah ini dan memimpin lagu wajib. Sungguh tak menghargai aku ini. Sudah dikasih merdeka malah mengutuk hari Senin karena upacara. Sudah hampir sebulan penuh aku tak melihat wajah Santo yang gelap memekat. Yang kudengar dia sedang ditatar di kota Medan menjadi Paskibraka Sumatera Utara. Ckckck, hebat bana, bah?! Hahahaa... Mungkin kau juga harus tau, Kawan, Santo G Hervian adalah pelajar yang patut membusungkan dada karena prestasinya yang langsung melesat jauh hingga ke Jakarta untuk mengikuti upacara Nasional dalam rangka HUT RI yang ke 65. Aku tak tau riwayatnya menjadi seperti itu. Yang kutau hanyalah, dia mengagumiku. Assiiik!

Dia sungguh aneh! Dia selalu merayuku dengan bual-bualnya yang kampungan. Tapi itu yang membuat dia tampak sederhana. Mekipun semua orang tau, dia mengagumi hingga sempat menyukaiku, cekakkakkk, tapi dia tak pernah utarakan itu langsung padaku. Aku tetap biasa. Sampai dia khusus mengirimku pesan untuk pemberitahuan yang tak mengubah apa pun yang kurasa.
Santo       : Hey, have you known this?
Rena         :  About?
Santo       :  I’m in relationship with Adzkia Nurmy. What do you think about it?
Rena         : Nice! Congrats bro...
Santo       :  Thanks!
Rena         :  Anytime J 
Santo       :  Don’t you feel something with that?
Rena         :  No. What’s wrong with it?
Santo       :  Nothing... Sorry!
Rena         :  What do you sorry for?
Santo       :  I’ve hurted your heart...
Rena         :  Oh, ya? [?] Can you explain it?
Santo       :  You loved me. And I know that.
Rena         :  Hahaa, wrong thinking, Boy! How can you say like that?
Santo       : Coz it’s my feeling.
Rena         :  Hey, it’s yours not mine, you know??!
Santo       :  Yeah, I know. Sorry. Night!
Rena         :  Up to you :D

Satu lagi yang harus kau tau, Kawan! Dia selalu memutar balikkan keadaan. Dia lucu tapi menyebalkan. Pernah sekali sampai di telingaku.

       “Re, kau tau Santo di mana?” Aini mengambil posisi duduk yang nyaman di meja tempatku menulis.

       Aku menggeleng dan tetap menundukkan kepala. Tunggu, Ai... Bentar lagi kita markombur. Sabar! Aini merapikan jilbabnya dan seakan tau apa yang kumau.

       ”Udah???” Tanyanya tak sabar.

       “Blum!” Jawabku singkat sambil menunduk.

       “Lama kali!” Aini mengeluh.

       “Tunggulah, Mak Jang!” Suara sedikit kuperhalus.

       Aini terus sibuk merapikan jilbab yang entah salah di mana. Sesekali kulihat dia. Geli! Produksi jerawatnya bertambah. Mungkin kebanyakan makan kacang kali, ya?! Cekakakkk... Rok panjangnya mulai kelihatan sempit. Sebetulnya, tugasku sudah selesai, tapi aku lebih suka menunda cerita dan menikmati tingkah Aini yang tak berujung dengan jilbabnya itu.

       “Ehhhem!” Suaraku membuka suasana.

“Udah selesai?” Tanyanya berharap.
“Belum! Sabar...” Aku melayangkan senyumanku yang selalu kuandalkan untuk memberitahu orang bahwa aku adalah ..Anak yang manis, heheeehhe..

       “Ah, kelamaan ko!”Aini melompat ala Lumba-lumba turun dari mejaku.

       “Udah... Udah slese!” Kukumandangkan suaraku yang jenaka untuk menghalau langkah Aini yang semakin jauh.
“Ck!” Aini memandangku kesal.

Lagi-lagi aku senyum. “Tadi ko nanya apa?”

“Entah!” Jawabnya ketus.

“Santo bukan???” Aku meliriknya geli.

“Uda tau ko tanyak pulak!” Aini mendadak batak saat marah kali ini.

“Okelah...” Sambutku memancing rasa penasarannya lagi.

“Apa? Di mana dia?” Tanyanya mulai rakus akan jawabanku.

“Nggak tau!” Senyumanku membuatnya merasa eneg.

Dia menepuk keningnya yang luas. “plak....!!” Suara tepukannya besar. Astaga, pasti sekarang dia lagi kesakitan, Hihiii... Tak lama dia mengusap-usap keningnya kesakitan.

“Ah, masa sih ko nggak tau??” Tanyanya lagi meyakinkan isi dalam dadanya yang terkubur penasaran.

“Iya, Ai... Tanya sama Adzkia aja!” Harus kuakui, saat itu produksi senyumku juga meningkat 200%.

“Ah, kebanyakan mangayak ko, Re! Ko kira mempan buatku?” Muka dendam berkarat terpampang di wajah tembemnya. Tak bisa dibayangkan wajahnya yang lucu berubah menjadi sangar dalam beberapa detik.

“Terserah!” Sekarang, kakiku yang meninggalkan Aini dengan banyak penyesalan terhadap jawabanku.

“Tunggu, Re! Darimana kau tau tentang Adzkia?” Tanyanya lagi menghentikan langkah kakiku yang ketiga.

“Dia yang ngasih tau. Kenapa? Kau patah hati? Hahahaha...” Tawaku menggelegar.

“Enak aja kau ngomong. Yang ada, kau yang patah hati!” Fitnah yang membakar arang amarahku tapi kutahan.

“Hahahaaa... Terserahmulah!” Kulanjutkan penelusuranku akan kantin.

“Tunggu dulu!” Lagi-lagi Aini menguji amarahku.

“Cerita apa lagi yang mau ko tau?” Kudekatkan wajahku untuk menangkap jelas kata-kata yang dilukis bibirnya.

“Aku yang mau crita samamu,” Suara Aini mengecil dari volume 20 ke 5.

“Apa yang mau kau crita, kan?” Kami sama-sama duduk di mejaku.

“Nggak benar tuh hubungannya dengan Adzkia. Bisa ko pastikan sendiri,” Penjelasan yang tak perlu kudengar.

Jadi apa maumu, Ai? Kau kira aku suka sama Santo? Hahahaaa... Anggapanmu salah, Kawan... Aku tak pernah memedulikan dia. Biarlah begitu. Aku tetap tenang dan sama sekali tak terlihat gusar seperti dugaan Aini terhadapku setelah aku mendengar kalimatnya yang kosong.

“Itu aja yang mau ko critakan?” Tanyaku mulai bosan dengan sikapnya yang sok menjaga rahasia.

“Kau knapa??? Kalo sakit hati bilang aja!” Aini berteriak menyesakkan sudut-sudut ruangan saat aku melangkah pergi.

“Yanda aja bisa kuabaikan apalagi Santo!” Aku pun memekik saat dia mengepalkan tangannya dan menunjukku garang.

***
Selesai ekstrakulikuler musik.
Matahari menyengat hingga ke endodermis Ah, lebay!! Panasnya memaksaku untuk menapak ke depan sekolah. Yak, di situ ada minuman dingin Untungnya hari ini aku tak belajar hingga sore. Cukup belajar musik. Tak ada seragam sekolah yang apek, perut keroncongan, saku bolong, muka asem, dan tentengan berat. Saat ini bisa berpakaian bebas. Pakai jeans, kaos oblong, sepatu lepes membuatku sangat nyaman untuk berjalan. Seperti biasa, hanya sedikit yang meminati kegiatan ini.

Ajeng Maezra juga merasakan hal yang sama denganku. Cemilan dan minuman di kantin sudah membuat kami bosan hingga mencinta yang lain. Tubuh Ezra yang kecil memudahkanku untuk memegang pundaknya.
“Hari ini panasnya klewatan! Huh.. untung Buk Elda nggak lama-lama nahan aku di kelas,” suara Ezra membuatku merasakan panas dua kali lipat.

Ezra memang bukan sekelasku. Dia belajar di program Sosial sedangkan aku di program yang bertolak belakang dengan Sosial. Kami berteman ketika satu sama lain mengetahui minat terhadap musik. Dia lebih muda empat hari dariku Konon, menurut pendapat khalayak, orang lahirnya berdekatan tidak bisa berteman.

“Emang.. Mule dari tadi pagi, gerahnya uda terasa, Zra!” Aku mengibaskan bajuku sambil meniup-niup dalamnya.
Ezra mengambil handphonenya dari saku dan berteriak senang sebelum sampai di gerbang utama.
“Kau kenapa?” Aku berhentidan mundur beberapa langkah hingga tepat di samping Ezra.

“Kau kenal Luther, kan?” tanya Ezra.

“Nggak! Emang kenapa?” Aku menggeleng dan menyatakan ketidaktahuanku.

“Aduh! Masa lupa, sih? Aku, kan, pernah cerita tentang dia?” Ezra meyakinkanku. “Yah, kau payah!” lanjutnya setelah melihat ekspresi wajahku yang bingung.

“Aku emang nggak tau!!” Aku menyenggak Ezra, “Mungkin juga lupa!” kataku sambil mengecilkan nada suara.
“Haa?? Itu dia! Kau lupa..” tunjuk Ezra ke depan mukaku.

“Yang mana, sih?” Aku berjalan sembari  mengabaikan Ezra dan menyeberangi jalan yang sepi sesaat.
Tak kulihat tapi aku tau, Ezra mengikuti hingga sampai di seberang.

“Aku pernah bilang kalo aku lagi belajar sulap. Ingat nggak?” Ezra bertanya lagi setelah memesan minuman.

“Ya,” sahutku sambil menggeser tempat duduk.

“Argh! Susah mudeng kau ini.. Luther, Luther!” Ezra menekan nada suaranya.

“Hmm, emang dia kenapa?” Aku kembali bertanya.

“Nggak ada apa-apa, kok! Lupaen aja..” Ezra membuang muka.

Kami beraksi diam dan tak memandang. Ezra duduk di depanku dan menarik-narik jarinya.

“Oh! Aku tau..” Aku memetik jariku tepat di depan wajah Ezra.

“Ah, udahlah! Kerja nalarmu terlalu lamban,” nyata Ezra.

“Huh! Yaudah..” Aku pun membuang muka jauh-jauh hingga bayangan Ezra tak terlihat.

Kami menikmati panas di bawah payung besar dengan segelas jumbo ice tea. Aku menghabiskan isi gelasku dengan cepat. Ezra tampak santai Ni anak, kenapa, ya? Penting apa Luther itu dikenal?  Asemmm... Ezra menikmati layar handphonenya yang buram. Sesekali dia tersenyum dan melihatku geram.

“Ciyee...” Aku mencolek lengan Ezra hingga dia terkejut.

“Kenapa lagi?” Tanyanya dengan sisa sumringah di wajahnya.

“Hheemmm...” Gumamku agak keras sambil cengir kuda.

“Tolong! Tolong jangan kajol gituh..” ungkap Ezra.

“Loh?? Luther itu magician, kan? Baru pindah ke sini? Kalo nggak salah dua hari yang lalu kau critaen. Ciyee....” godaku sekali lagi. “Orangnya yang mana, sih?”

“Tuh dia!!” Ezra menunjuk ke jalan di belakangku.

Aku harus memutar tubuh 180° untuk menangkap bayangan seorang Luther yang dikagumi Ezra. Ezra langsung berdiri menyambut kedatangan Danang, teman sekelasnya dengan seorang yang belum kukenal.

Aku masih duduk dan membalikkan tubuhku. ‘Loh, kok Danang, sih yang datang?’ Ezra langsung konek dan tertawa senang ketika mengobrol dengan orang asing itu. Bajunya hitam, celananya hitam Tapi cuma pake sandal. Muka juga item tapi manislah.. Ah, tetep aja nggak fashionable. Kayak baru pulang layatan mayat deh! Hahhaa..

Aku senyum-senyum sendiri ketika melihat orang asing itu. Rasa geli yang entah darimana menggelitik pinggangku hingga sumringahku dianggap aneh oleh Danang.

“Kau kenapa?” Suara yang kukenal menyapaku ‘Tapi logatnya beda...

Aku melihat orang yang menyapaku sore ini. Eh, ternyata Danang! Loh, kok beda, ya? Aku memperhatikan wajah Danang yang selalu kusut dan berlebihan. Logatnya sangat berbeda. Sehari-hari yang biasanya batak abis kini mendadak berubah jadi lembut dan halus.

Aku langsung beranjak dari tempat duduk dan gabung dengan mereka Yah, daripada oon sendirian mending gabung en asikin sendiri suasana yang hambar, huh!

“Kalian pada ngapain?” aku membuka dialog sok akrab.
Ezra masih terlihat asik dengan teman barunya.

Aku tau, pasti ini yang namanya Luther. Lumayan! Hahaa, lumayan buat dipamerin di arisan. Tinggi juga. Manis, tapi nggak perfek. Good item, Loh??

“Hahaa, ni! Ezra baru ketemu pertama kali ma orang yang jadi guru sulapnya,” Danang menjelaskan.
Sedikit ulasan senyum dari orang asing itu dan aku semakin yakin dia adalah Luther yang dua hari terakhir ini sering disebut-sebut Ezra. Ezra tampak senang hingga dia tak sadar telah membelakangi aku. Aku tak mungkin mengganggu suasana yang hampir membuatku pingsan. Aku hanya melihat orang yang berlalu-lalang di depanku. Sesekali melihat ke arah mereka dan bertanya sedikit. Tapi konklusinya tetap untuk menjalin suasana santai.

“Nih mau diapain?” Aku bertanya ketika Luther mengeluarkan kalung dan meminta cincin dari antara kami untuk jadi percobaan.

Ezra mengambil minuman-minuman yang sudah dipesannya Tapi tidak untukku!

“Noh, Re punya cincin. Pinjem cincin dia aja, bos!” Saran Danang pada Luther.

“Maaf! Cincinnya emas?” Tanya luther sambil menunjuk cincin di jari tengah tangan kiriku.

“Oh, iya dong! Emang kenapa?” Tanyaku ingin tau.

“Pinjemin knapa? Bentar kok!” seru Danang padaku.

“Yaudah! Nih...” aku membuka cincin yang kupakai dan mengulurkannnya pada Luther.

Sekali lagi Luther tersenyum, “Nggak usah! Saya nggak brani pake emas. Cincin biasa ada?” Tanya Luther.

Sebelum Luther bertanya lagi, aku buru-buru meliarkan pandanganku. Aku mendengar pertanyaan tapi kuabaikan hingga Ezra kembali dengan membawa dua minuman. Betul-betul tidak kondusif!! Masa ngestreet di pinggir jalan.. Oalah! Ni ngestreet opo ngemis?

Aku tak tau apa yang mereka lakukan di sampingku. Namun, aku mendengar dialog Ezra dengan Luther.

“Mau ngapain, Bos?” tanya Ezra.

“Kamu punya cincin nggak?” tanya Luther.

“Punya dong. Nih!”

Aku tak tau bagaimana lakon mereka masing-masing tapi aku yakin Ezra memberikan cincin sebagai media pendukung magic Luther.

Aksi yang mereka lakukan membuat mataku beralih dari jalan-jalan yang tampak sepi tapi mematikan kembali ke arah mereka. Aku sedikit mendekat Saat yang berbeda. Aku di antara orang-orang gila yang mencintai ilusi. Seru nggak, sih berkhayal seperti ini? Dihipnotis, pikiran dimaenin, sampe-sampe bisa nggak sadar. Freak!! Kulihat permainan tangan Luther secara teliti dengan harapan menemukan kesalahannya dan meneriakinya hingga Luther malu. Hahaa, seru! Tapi.... Aku tak mendapati kesalahannya. Tangannya begitu sempurna untuk menunjukkan sesuatu yang betul-betul wah di hadapanku.

Aku pun sempat kagum dan tak menyangka hingga bertanya Gimana sih caranya?

“Loh, kok bisa, sih?” tanyaku sambil menunjuk-nunjuk cincin yang sudah terikat dengan kalung.

“Ada, deh!” Kata Danang.

Luther tersenyum. Untung bukan hanya aku yang kagum pada saat itu. Ezra juga terlihat bingung dan  melongo sebentar. Hoalah, kasitau dikit knapa? Aku kembali memandang jalan setelah menyaksikan Luther tersenyum puas.
“Huh!” Dengusku sambil membuang muka.

“Jadi gimana, Bos?” Tanya Ezra menetralkan suasana.

Aku tak tau lagi apa balasan Luther atas pertanyaan Ezra. Yang pasti, aku merasa sangat tak nyaman berdiri dengan pengetahuan NOL tentang magic. Aku juga tak tau, entah sejak kapan Ezra mencintai magic sebegitunya. Dan yang paling membuatku bingung, Darimana, sih Danang dapet teman kayak gini? Yah, kuakui, aku hanya penikmatnya dan tak akan pernah berusaha untuk hal-hal seperti itu.

Aku tetap pada posisiku. Melipat tangan di depan dadaku dan bersikap acuh. Hingga saat yang kutunggu tiba Yakh, akhirnya mereka say bye-bye!

Lagi-lagi, aku tak tau bagaimana dialog mereka sebelum berpisah. Yang pasti ketika aku mengarahkan pandangan pada mereka, mereka ada di posisi siap pergi. Ya, Danang ada di belakang sebagai beban boncengan.

“Tuh yang namanya Luther?” tanyaku pada Ezra yang belum puas dengan tatapan wajah Luther.

“Iya! Keren, kan?” tanya Ezra kembali.

“Iya, manislah!” balasku.

“Dia itu tuh yang ngajarin aku sulap..” kata Ezra sambil menunjuk jejak Luther yang hampir hilang.

“Apa?? Nyulam? Hihiii…” tawaku kecil.

“Bolot!!” Ezra kesal dan meninggalkanku.

“Santailah, Pung!” Aku mengejar langkah kaki Ezra yang cepat.
MOZAIK 6

Apa yang lebih menyenangkan selain naik kelas? Bulan Juni adalah waktunya. Orang tua dipermalukan atau dipamerkan di depan barisan atau di dalam kelas masing-masing jurusan? Aku juga nggak tau. Yang pasti, aku membawa Mamaku untuk mengambil rapor dan mengajaknya berdiri di depan barisan bersamaku sebagai juara umum.

Aku memilih program IPA dengan banyak pertimbangan dan masalah yang ditimbulkan.

“Ma, aku ngambil jurusan apa, ya?” Aku langsung duduk di kursi panjang ruang tengah di samping Mama yang sedang menjahit.

“Ya, IPA-lah! Emang mau ke mana lagi?” Tanya Mama kesal.

“IPS?” Suaraku kecil.

“Ko mau jadi apa, sih?” Mama meletakkan kain yang dipegangnya dan menatap mataku yang sayu kemayu.

“Mau jadi Hakim, heheeh...” Nyataku langsung cengengesan.

“Kau tau nggak? Di dunia ini, nggak ada Hakim yang adil. Jangan mengambil hak Tuhan untuk menghakimi dunia,” terang Mama lalu meneguk teh hangatnya di meja.

Hak Tuhan : Menghakimi! Sungguh luar biasa pernyataan itu. Tapi sebenernya, aku bukan mau jadi Hakim, loh, Ma! Aku cuma takut kalah bersaing di IPA. Mungkin Mama belum liat, gimana tegangnya ekspresi anak-anak IPA yang kukenal. Dan, satu lagi Mama, IPS itu menyenangkan. Program sosial yang bisa menempahku menjadi seseorang yang berakhlak baik dengan sosialisasi yang tinggi. Ah! Mungkin tak sebegitunya!

“Ato nyiapin modal masuk STAN, Ma?!” Aku berhenti sejenak, memikirkan suara yang baru keluar dari mulutku ..Astaga! Nggak pernah sedetik pun aku berpikir tentang Sekolah Tinggi itu. Hasrat ingin masuk pun tak ada. “Kan, uang masuknya gede, Ma?! Baru golongan rendah dah dapet gaji sekian!” Aku menyunggingkan senyum ala kadarnya yang mengusik pemandangan Mama.

“Pokoknya, nggak! Anak Mama itu, dari Bang Fe sampe Anggi musti nurut program IPA... Mama nggak suka, loh, kau jadi nakal. Kan, kau tau, IPS itu identiknya ke mana, gimana ato siapalah purna-purnanya..” penjelasan Mama membuatku berpikir lebih keras untuk mencari alasan lain.

“Tapi aku nggak suka Biologi, loh, Ma?! Aku lebih suka Sosiologi ato Ekonomi..” Lagi-lagi aku harus ngibulin Mama.

Bilang Ekonomi lebih kusukai daripada Biologi. Apaan??? Ekonomi buat otakku mampet. Loh??? “Ato mungkin blajar ngitung duit orang dari Akuntansi. Heheheee... Mama tau, orang-orang Ekonomi tu, umumnya orang kaya, loh?!” suaraku mulai naik turun untuk menggoda Mama yang mulai mengabaikan suaraku.

Lagi-lagi Mama menghentikan aksinya. “Tetep IPA!” Mama langsung berdiri dan berlalu dari hadapanku.

Sungguh anggapan yang salah! Akankah semua anak dari Program Alam sukses? Aku tak yakin itu. Tapi apa yang harus kuperbuat? Itu adalah kemauan dari orang yang sangat mempengaruhi hidupku.

Kulihat angket yang sudah kuisi dengan tujuan program Sosial. Harus diulang lagi nih ngisinya! Kucoret Sosiologi dan

Geografi di bagian “Pelajaran yang disukai”. Kemudian kuganti dengan Kimia dan Fisika. Bener-bener terpaksa...

Semakin ke bawah, kuganti lagi Biologi menjadi satu-satunya “Pelajaran yang tidak disukai” ..sekaligus pendukungku untuk masuk IPS. dengan Ekonomi.

Dan saat penerimaan Rapor, aku yakin aku bisa duduk di Kelas XI IPA 1 yang selalu diagungkan di sekolahku.  

Lemasss.. Nggak enak! Sumpek, mumet, nyebelin kaliiii... Namaku dibacakan pertama kali untuk duduk di kelas kecil seperti penjara itu. Aku harus kepanasan lari bolak-balik antara Gugus 6 dan kelas baruku yang jaraknya sekitar 50 meter itu.

***
Ya, saat ini adalah hari pertama menjadi siswa Kelas 2 SMA. Hahahaaa... Ternyata aku udah besar, loh!? Masih kuingat, saat rapat OSIS. Aku harus bekerja sama dengan Lia Barbara di Gugus 6, purna Paskibraka 17 8 Tahun 2009, yang nangis sampe glepar-glepar cuma gara-gara masuk kelas XII IPS 3. Bener-bener buat malu!! Hahahaa...

“He, ko darimana???” Teriak Barbara saat bayanganku yang harus kehilangan wibawa karena berlari.

“Sori, Kak! Tadi saya baru dari kelas,” Napasku beradu dengan dendamku melihat Barbara yang menyenggakku.
Windra Kelas XII IPA 2, Sekeretaris OSIS saat itu hanya menggeleng-geleng kepalanya. “Udahlah! Skarang ko masuk, Re!” Windra menengahi suara Barbara yang semakin besar dengungannya di telingaku.

Aku berdiri di depan puluhan pasang mata ..yang lugu, sok imut, centil, ganjen, nyebelin, cengengesan, pendiam, dan ah, semuanya bikin dadaku makin sesak! Huh... Semua melihatku dengan mulut terkunci. Menilirikku dari bawah sampai ke atas. Assiiik! Mereka kagum samaku, cekakakkk...

“Oke, baiklah. Perkenalkan, satu lagi Kakak Gugus 6...” Sumpah! Bangga kali disebut kakak gugus walopun di gugus yang paling akhir. “Namanya? Silakan, Kak!” Windra mundur ke belakangku dan mempersilahkanku memperkenalkan diri sendiri.

“Nama Saya Ann Renatha. Saya ada di Kelas XI IPA 1. Terima kasih!” Aku tersenyum licik melihat wajah kekanak-kanakan gugus 6. Hah! Skarang saatnya balas dendam untuk tahun lewat. Habislah ko, Bocah!!

Windra langsung berjalan ke depanku. “Hm, Saya lanjutkan perkenalannya. Begini, Kak Ann Renatha ato Re ini adalah Ketua Koordinator Marching Band sekolah ini. Jika kalian memiliki minar untuk bergabung di ekstrakulikuler itu, kalian bisa melapor pada dia,” suara Windra terdengar dihambat oleh angin lain.

“Dan pada Saya,” Suara yang kukenal. Barbara si Lumpur Hidup!! Oprasi 18, Tukk**!! “Hm, tadi saya lupa! Saya adalah Stickmaster Marchingband sekolah ini...” dengan anggun yang dibuat-buat dia mengakhiri penambahan tentang dirinya dengan mundur sedikit ke belakang Windra.

Hellooo??? Siapa pulak yang jadiin kau Stickmaster, Oprasi LAPANBLASSS??? Rupanya ko nggak ingat, gimana tercorengnya mukamu jadi kakak kelas pas minta ke aku biar jadiin ko mayoret? Astagaaaa... Bener-bener, ko emang udah pikun! Dasar!! Sekali lagi Windra menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Barbara yang memalukan.

“Yayah, Kak Lia Barbara juga merupakan pimpinannya. Tapi perlu kalian tau, bahwa di atas dari itu adalah Ann Renatha yang bisa kalian dapati di Kelas XI IPA 1..” Windra melirik Barbara dan aku secara bergantian. Dan aku harus tersenyum. Ayo senyum, Re! “Re...” Sambil menunjuk aku, “Adalah Main Line Leader itu...” Hah?? Main Line Leader??? Baru denger, loh Kak???! Hahahaaa... Ngibul aja, deh... Wajah Barbara terlihat kusut dan tak beraturan seperti serakan kendi yang dipecahkan sampai puing-puing terkecil.

Aku masih meliarkan mataku untuk mengamati wajah-wajah penipu casis sekolah ini. Stop! Aku melihat dia!! Aku terpaku pada satu bocah tengik yang duduk paling belakang. Christian??? Produksi SMP Pematang Siantar. Dan tak ada yang berbeda. Satu lagi! Loh??? Bukannya ini Siddiq? Muhammad Siddiq. Teman sekelasku waktu SD. Dan sekarang dia harus memanggilku Kakak. Hahahaaah...

“Hai, Kak?” Sapa Siddiq sambil memamerkan codet di pipi sebelah kirinya saat membentuk barisan di depanku.

“Ko kenal aku?” Tanyaku meyakinkan dia adalah Siddiq yang kutau.

“Kenal, dong?! Tapi beda kali loh sama yang dulu...” katanya sambil senyum.

“Siapa?” Aku bingung.

“Ya, kaulah... Ups, maksudku Kakak,” Dia tersenyum sempit.

“Oh, wajar! Udah gede, Diq! Masih nakal juga ko???” tanyaku blak-blakan.

“Hahaa... Jangan tanya di sini, Re?! Entar orang tau...” bisiknya sambil menunduk sedikit untuk mencapai telingaku yang rendah.

“Hahaaah, oke-oke!” Aku meninggalkan barisan Gugus 6 yang sudah dikomando dari depan.

***
“Re...!” Seseorang meneriaki namaku yang singkat itu.

Suara yang kukenal. Itu terdengar saat aku hendak melangkah lewat Kantor Tata Usaha menuju Gugus 6. Dia di belakangku. Mungkin jauh di belakangku. Aku enggan berbalik karena jantungku sudah memacu adrenalinku untuk berlari menghindari dia. Melesat jauh menghindari tatapannya yang membuat mulutku gugup untuk berkata.

Aku tetap tak ingin berbalik. Tapi mampu kurasai langkah kaki yang mendekat ke arahku. Semakin dekat semakin aku ingin jatuh melemas. Kuperkecil lebar langkah kakiku agar dia dapt menjangkau posisiku tanpa aku yang harus mendapati dia.

“Huuhh!” Napas panjang terdengar mendengus tepat di belakangku, menyibak lemah rambutku dan meruapkan bulu kudukku.

Balik nggak, ya? Sumpah, dag dig dug jantungku... Dia berhenti tepat di belakangku dan kemudian menghalau langkahku dengan memosisikan tubuhnya yang tinggi di hadapanku.

“Aduh, Dek! Apathis kali, ya? Padahal penting, loh?” Keluhnya sambil mengatur napasnya.

Astaga! Knapa kau di depanku, Jean??? Apa kau nggak tau, aku mau mati kalo kau ajak ngobrol... Napasnya mulai teratur. Kini aku yang ngos-ngosan di tengah santainya aktivitasku. Mulutku serasa dijahit. Tanganku bergerak sendiri. Mataku sengaja kuliarkan jauh ke belakangnya. Pergilah! Kau bisa nyampein pesan itu lewat anggota OSIS lain untukku.

Aku mengumpulkan keberanian untuk menanyakan keberdiriannya di hadapanku. “Emang ada apa, Kak?” suaraku bergetar.

“Santai, Dek!” Dia sepertinya tau apa yang kutakutkan. “Gini..........” jelasnya panjang.

Aku hanya mengangguk. Sesungguhnya aku tak tau apa yang sedang ia diskusikan denganku. Hanya gerak-gerik tangannya yang latah yang kuikuti karena aku takut menatap mata ularnya yang berkilau itu. Sesekali dia menyunggingkan senyum tipis yang mungkin mau menanyakan ..Apakah kau paham? Dengan sigap aku mengangguk-angguk sok tau.

Kemudian dia menarikku mengikuti langkahnya. Mau dibawa ke mana aku? Jalannya tegap. Lurus. Nyaris catwalk!

Blakangnya aja uda kliatan keren apalagi depannya, hahaaah... Jean Rananda. Ketua Osis untuk TA 2009/2010.
Memiliki latar belakang kepemimpinan yang buruk, selalu melupakan tugas, dan aktif dalam Seni Tari Kota Berbilang Kaum. Kau tau, Kawan? Aku pernah menyukai dia. Senyumnya yang membuatku terpaku untuk bertahan dan memuja sekolahku yang sangat sederhana ini. Sungguh tragis! Dia adalah pesaing yang selalu kalah di kelasnya.
Tidak aktif mengikuti pelajaran dan selalu menjadi bahan olok-olokan siswa di luar keanggotaan OSIS. Sering sekali dia malu dan aku harus menutup wajahku dengan buku untuk menyembunyikan tawaku yang lebar ini. Aku tau, dia pasti sakit hati jika ditertawakan. Dan aku selalu menutupi kegelianku atas wajah polosnya jika tugas-tugasnya dipermasalahkan oleh Guru Pembina OSIS.

Ternyata langkah yang dia tuntun tidak terlalu panjang. Dia membawaku ke tempat tujuanku, Gugus 6! Hentakan kakinya menghentikan suara sumbang Barbara yang berorasi hampir satu jam penuh.

“Selamat Pagi menjelang Siang, Adik-adik!” sapa Jean dengan suara lembut yang dibuat-buat.

Buru-buru aku melirik arlojiku untuk memastikan apakah salam Jean sesuai waktu atau ..molor??? Hahahaaa...

Ternyata pas. Di sini tertera 10.19am.
Aku tetap tak menikmati suara Jean yang entah bersemayam di mana. Yang kutau hanya, aku berdiri di dekat pintu, menyembunyikan kepalan tanganku di balik badan, mengenakan baju pramuka gelap, dan di sampingku ada SARLAB II, Lia Barbara... Selanjutnya, kesimpulan yang kutangkap adalah ternyata besok ada pawai MOS, asssiikk! Tapi aku bingung. Bukankah pengumuman ini biasanya disampaikan oleh Kakak Gugus masing-masing??? Aneh kau, Je! Jean tak lama bertengger di ruangan itu dan aku kembali mengikuti langkahnya dengan tatapan mataku yang mengaguminya.

Dia berhenti tepat di depanku. “Hahaaa, kau tau, Re??! Baru kali ini aku meragukanmu berbicara di depan umum... Buat malu!” Di akhir pernyataannya Jean menyinggungku.

Hey, anak muda! Apa yang ko permasalahkan denganku??? Aku menyimpan serapah dalam hati untuk Jean. Dia berlalu. Astaga! Siapa yang aneh? Aku atau Jean? Bukankah ini tugasku? Apa yang dikatakan Jean tadi? Di depan TU? Apa? Ini? Knapa aku mendadak pekak??? Aku mengutuk diriku yang sudah mengabaikan suara Jean tentang pengumuman tadi. Emang bener-bener buat malu! Argh...
MOZAIK 5

Selamat Ulang Tahun buatmu, Ann Renatha ^^
.. Semoga menjadi semakin dewasa dan jadilah terang di dalam keluarga, sayang.. Tuhan memberkati :*
Sender: [Ellen.Loycia] 
 +62812xxxxx622 
 Received: 00.02.20am 
 Today 

Masih terlalu dini untuk membahas ucapan SELAMAT ULANG TAHUN. Kak El selalu menjadi orang pertama dengan doa-doanya yang banyak dan panjang yang sudah dikirimnya malam menjelang 19 Aprilku. Hm, ternyata masih 16 tahun. Selanjutnya, handphoneku membuat kebisingan.

Slamat ulang tahun ^^ 
 Sender: [Yanda T Pradana] 
 +62852xxxxx711 
 Received: 00.05.19am 
 Today

Yanda? Yanda? Astaga... Aku mencubit pipiku sebelah kiri. Aw..sakit!! Ah, yang bener dong, masa dia ngirim pesan sepagi ini? Hm, mungkin salah kirim.. Namaku tak diketik.Tapi masa, sih, bisa salah kirim? Kok bisa ya dia ngirim ucapan lebih dulu dari Kak Fito? Aku beranjak dari ketelungkupanku dan duduk di atas tempat tidurku. Kuraih kacamataku di atas meja belajarku. Kupandang sekali lagi namanya lebih dekat. Yanda T Pradana? Ato Fito Kashogi? Brrr... Langsung kucari opsi untuk menghapus pesan itu. Delete.. Delete Message? Deleting Message.. Deleted! Aku senyum dan merebahkan kembali tubuhku yang sudah berkurang timbangannya. Kucoba memejamkan mataku ..Aaargh, nggak bisa! Aku selalu memikirkan pesan itu. Menghapuskan tanpa berterima kasih. Haruskah? Aku mengabaikan rasa terima kasih yang seharusnya kuucapkan padanya seperti pada yang lain. Tapi yang selalu kupikirkan adalah mungkin dia akan mengabaikannya dan langsung tidur. Buat apa??? Aku hanya mengganggu istrahatnya malam ini... Tapi, hey! Tunggu!! Bukannya dia sekolah sore??? Nggak apapa, kan, kalo diajak ngobrol sebentar.. Hmm... Aku langsung menggeser handphoneku untuk membuka tombol-tombolnya. Dengan cepat jariku mengetik :

Rena         :  Thanks ^^
Yanda      : Sama2.. Blum tidur?
Rena         : Hahaha, ya blumlah masih balas smsmu :P Apa kabar?

Tak ada lagi balasan. Aku tau ini bukanlah waktu yang tepat untuk mengajaknya bicara. Tapi, dia pernah bilang, kalo dia tidur selalu lewat jam 1 malam. Sementara ini?? Kulihat jam dindingku. Masih tengah 1!! Dia nggak suka??? Mudah-mudahaan dia ketiduran, tapi tetep aja kau brengsek, Yandaaaa!!

***
“Stev... Bisa ngobrol bentar?” Aku mengganggu Stevi yang asik menulis.
Dia langsung melihatku dan menghentikan tulisannya. Mungkin dia bakal nyenggak aku dan marah-marah sambil ngluarin suara harimaunya yang bisa bikin rambut terbang-terbang. “Hm, ya... Critalah!” Stevi tersenyum singkat.

“Tadi pagi si Yanda ngirim ucapan selamat, loh!” suaraku mengecil dan napasku tersendat-sendat.

“Apa??? Masih nongol juga dia? Trus, ko jawab apa?” Stevi mengobarkan api amarahnya.

“Aku ketik ‘makasih’,” suaraku semakin takut keluar.

“Knapa ko balas? Ckck, ingat, loh Re, dia udah punya pacar...” Ungkapan Stevi membuatku merinding. Seakan-akan ada halilintar yang meledak di sampingku. Aku yang mengatakan ..Stev, Yanda udah punya pacar, loh?!.. Knapa aku yang terkejut mendengar suara Stevi mengulangi pernyataanku??? “Ngapain coba ko respon lagi??? Bukannya dia udah tercatat jadi PENGECUT? Apa pun alasannya, Re! Sekalipun dia berkorban untuk sahabatnya... Ko tau gimana senangnya dia bisa ngajakin kau bahkan merayu-rayu kau sementara dia juga udah punya pacar? Sori, Re... Kali ini ko memang BODOH!!” Stevi mengungkapkan kebenaran yang selama ini tertutupi.

Steviii!! Aku sakit hati ko bilang BODOH??!! Tapi memang benar... Arrrgghh! Tere dan Calista memperhatikan kami daritadi. Mungkin mereka juga menikmati dialog kami yang menghasilkan kenegatifan. Menghakimi orang, serapah dalam hati, suara yang tinggi dan pembodohan atasku. Sumpah! Aku benci ini semua...

“Knapa, sih?! Pengen taulah...” Tere nimbrung membubarkan dialog kami.

“Coba, ko bayangin, Ter! Si Rena masih merespon si ...” Stevi menghentikan suaranya yang enggan mengucapkan nama Yanda.

“Yanda???” Sambung Tere yang mulai memajukan wajahnya untuk mendengar omelan Stevi.

Sungguh! Aura Stevi sebagai perempuan terpancar. Memang tak salah jika dia harus dipilih seluruh rakyat Indonesia menjadi calon tunggal Indonesia untuk maju ke Ajang Miss World 2014 nanti. Suara Tere yang manja menyebut nama Yanda rupanya juga mengundang perhatian Gree dan Sandra yang langsung memosisikan dirinya di depan Stevi. Stevi terlihat panas dan wajahnya agak merah.

“Iya, loh, Re! Nggak bisa gituh... Ko nggak sakit hati apa pas Anggi bilang Ibetha maki-maki ko gara-gara buat HTS ma si Yanda di pesbuk??? Ko tau kan, di situ Ibetha-Ibetha, tak jolas tu jadi pacarnya??? Ih, amit-amit deh jadi slingkuhan...” cerita Tere sambil berekspresi jijik saat menyebut kata ‘SELINGKUHAN’.

Astaga!! Iya, slingkuhan, Ter... Kau benar! Aduh... Siapa lagi yang mau jadi selingkuhannya??? Sebenarnya aku sakit hati. Sungguh sakit hati! Tere yang kuanggap bisa menjadi penengah antara pro dan kontra kini mulai ikut-ikutan menyalahkan aku. Sandra mengangguk-angguk sok paham. Gree diam saja. Dan Calista asik mendengarkan dengan ekspresi bingung ..mungkin dia harus mencerna kata demi kata untuk menyibakkan makna diskusi ini saat guru sedang rapat.

“Hahahaaa... Emang bego si Rena! Tau ada si Fito, maunya si Yanda terus...” tawa Sandra menyudutkanku.

“Eh, siapa lagi yang mau sama si Yanda?” Aku menyela ucapan Sandra.

“Muna..munaaa...” suara Sandra diayun dan tergantung.

“Bukan itu aja, loh?! Emang ko nggak ingat gimana responnya pas ko bilang ma dia, Ibetha maki-maki ko lewat adekmu?”
Suara Tere terhenti sebentar. “Cuek, kan??” Kali ini Tere yang hampir berteriak karena kesal.

“Manggosip sajolah! Hoh!” Riski mendengus kesal mendengar suara Tere yang hampir berteriak.

“Eh, cowok diem aja, napa? Rese kali.. Nggak senang, ngomonglah, Mak Jang!” Suara Tere semakin menantang adrenalinku.
Aku masih mematung. Produksi ludahku meningkat. Seperti ada duri di tenggorokanku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Liurku terasa hambar. Gree mengangguk-angguk dengan anggun. Dia masih diam.

“Aduh, Re! Bayangin, setelah Leticya ada Ibetha dan selanjutnya kau!? Leticya ato Ibetha itu sama aja, Re.. Nah, kau???” Stevi menghentikan ceritanya.

“Hahaaa, udahlah! Sampe mulut berbuih juga, Rena slalu nyumpel tlinganya, Vi!” Sandra meninggalkan tempat duduknya dan berhambur keluar.

“Tapi terserahmu deh, Re!” Stevi buru-buru merapikan bukunya dan ikut melangkah keluar.

***
Hari ini adalah hari perjuangan. Senin, 19 April 2010. Olimpiade! Tak ada yang menyenangkan sepanjang hari ini selain makan di Warung Jogja dengan Sandra, yang udah jauh-jauh dari Tukka demi makan bareng kami... Stevi, yang punya impian, setelah pulang dari Warjog, timbangannya bisa nambah... Gree dan Tere, yang udah butek en mau muntah duluan gara-gara soal Olimpiade Biologi yang dibacanya selama 2 jam penuh. Hahaaa...

Aku berjalan lebih depan dari mereka. Mencari tempat duduk yang nyaman. Hm, di ujung sana! Aku langsung membuka dasiku setelah ambil posisi duduk yang enak. Seragam ni nyesekin! Pengen buka bajuuu... Mereka duduk dan langsung main-main mata satu dengan yang lain. Yah, aku tau! Mereka udah nyiapin kado yang dibungkus pake koran –tradisi- trus ntar lagi pasti disodorin samaku trus aku sok-sok pake ekspresi terkejut –padahal udah tau-... Aku tetap bersikap biasa dan sengaja beranjak ke kamar mandi untuk memberi mereka kesempatan berdiskusi blak-blakan.

Tak ada yang berubah. Bahkan mereka juga sangat biasa. Aku menarik bangku membuka dan duduk sambil melipat tangan ingin berdoa. Makanannya blum nyampe!

“Bukannya udah pesan?” Tanyaku pada keempat koala yang cengir-cengir kuda.

“Uda, Re!” Jawab Stevi yang duduk di depanku di antara Sandra dan Gree.

“Prasaan juga udah. Hahahaaa..,” Lepas tawaku membuat yang lain terdiam.

Tere menunduk mengacak-acak blackberrynya. Gree senyum sendiri, mungkin dia mau bilang ..Makin tua makin gila aja si Rena. Kasian banget! Sandra dan Stevi mengaduk-aduk air cuci tangan sampai keruh. Aku maklum, cara pandangku, Sandra dan Stevi pasti sangat berbeda dengan Gree dan Tere. Mungkin cara bicaranya juga beda ..Karna kami anak Pesisir Sibolga! Hahahaaa...

Sandra buru-buru menarik handphoneku untuk mengabadikan gambar hari itu. Sungguh menyebalkan! Stevi nggak mau gantian jadi Photographer. Dia cuma mau jadi model. Stevi sinting! Hahahaa...

“Knapa nggak pake bebe Tere aja, Re?” tanya Gree menunjuk handphone Tere yang menganggur.

Aku mengangkat bahuku pertanda ..tanya ma Tere dulu... Tere Cuma senyum dan menunjuk handphonenya dengan dagunya. Mungkin dia mau bilang ..Yaudah, pake aja tuh! Gree langsung beraksi cepat tanggap jadi Photographer. Saat itu aku baru kalau kamera supernovaku nggak kalah sama blackberry Tere. Hahaaaa... ngibul aja!

“Fito mana?” tanya Sandra gamblang.

“Hey! Ko nggak tau, ya?” Stevi menyentak lengan kiri Sandra. “Fito udah punya pacar, ya kan, Re???” tawa Stevi memancing rasa geliku.

“Iya, betul! Hahaaah...” tawa Stevi kusambung garing

Tere memandangku aneh. Seakan-akan dia ingin meneriakkan, RENA! KAU KENAPA? CEMBURUKAH ATAU CEMBUKORRR?? Tapi apa bedanya?

“Ah, ko tau darimana, Vi?” Sandra langsung memutar tubuh 45° ke kiri untuk menangkap ekspresi Stevi yang mencurigakan.

“Aku tau dari Rena, Rena tau dari???” Stevi berpikir, “Ah, nggak tau, deh?!” sambungnya dengan senyum lebar –selebar-lebarnya-

Sandra memicingkan matanya padaku. Tere juga memutar tubuhnya untuk melototi aku. Gree terlihat biasa. Stevi ikut-ikutan mendekatkan wajahnya ke arahku. Kurasa mereka mau bilang ..sok tau!!

“Hahaa, baiklah saudari-saudari! Mari kita dengarkan penjelasannya,” Stevi berorasi mengakhiri picingan mata yang tajam terhadapku.

Aku menarik napas panjang. Lega. Lalu mereka mengurangi ketajaman mata mereka menatapku. Sandra dan Tere. Dua orang yang harus kuberi penjelasan. Gree? Mungkin dia juga butuh penjelasan sambil merespon dengan keanggunannya yang khas.

Keringatku bercucuran di cuaca berangin. Hari ini matahari tiba-tiba lenyap. Suara kendaraan yang lewat seakan bom yang diletuskan Sekutu terhadap daerah Nagasaki di Jepang. Aku tegang mendadak. Mereka masih melihatku, mungkin menahan napas. Kulihat mata Sandra yang mau keluar membuang diri karena penasaran. Apa yang kalian tunggu dariku? Kalian juga mengagumi Fito Kashogi???

“Kalian mau apa?” Aku mengeluarkan suara sekecil-kecilnya seperti suara kentut yang enggan didendangkan.

“Ko aneh kali! Critainlah...” suara Tere memaksa.

Gree yang duduk di depan Tere masih terlihat biasa tapi aku tau di dalam hatinya, serapah sudah menjulang tinggi karena bertumpuk untuk menanti penjelasanku tentang Fito dan pacarnya. Hahahaaa...

“Oke...” Aku belum menghabiskan satu kalimat.

“Oke, aku mau pulang. Ternyata udah malam, hahaaa...” sambung Sandra langsung beranjak.

“He, ko nggak sopan kali! Tunggu dulu!!” teriak Tere.

“Apalagi, sih?” tanya Sandra kesal.

“Entar lagi aja pulangnya, San!” suara Gree melayang lagi.

Sandra duduk dan mendengus kesal. Dia menghentakkan tasnya di atas meja.

“Eitss, bukannya ko juga kagum sama Fito, San???” Stevi mencolek dagu Sandra yang bulat.

Sandra tersipu. Apa?? Hahahaaa... Sandra, Sandra! Aku terkejut dan geli mendengar ungkapan Stevi yang memerahkan wajah Sandra dalam 5 detik.

“Ya, Fito pacaran sama Yunita, kakak kelasku dulu. Hahahaaa...” ungkapku sambil melepaskan tawa.

“Kok, kau ketawa, Re?” Tere menggaruk kepalanya –yang mungkin banyak kutunya, heheeeh-

“Aku tau! Si Rena pasti cemburu. Ya, kan?” Sandra menggodaku.


“Biar saya luruskan kembali!” Stevi berdiri dan melanjutkan orasinya yang oral dengan frekuensi yang sangat besar.

“Sebenernya, Rena alias Renatha alias Saudari Ann Renatha tidak pernah cemburu tentang mereka,” Aku lega dengan pernyataan Stevi yang mewakili kata hatiku. Stevi menarik napas panjang, “Tapi cemburu abis, bok! Hahahaaa...” Stevi mengakak selebar telinga gajah.

Aku geram dan menepuk meja.

“Knapa lagi, Re?” tanya Gree yang hanya senyum di saat semuanya menertawakan aku.

“Nggak kek gitu, loh?! Jujur, ya... Aku emang kagum sama Fito dan cemburu! Tapi bukan berarti aku harus cemburu, kan?”

“Udalah, Re! Coba bayangin, buat apa ko sempat betahan di klub basket yang nyebelin itu kalo bukan tiap sore bisa ketemu Fito?” Stevi membuat pipiku terasa terbakar.

Aku terdiam. Sandra mengencangkan perut agar isinya tak keluar. Tere menutup mukanya supaya tawanya tak menyebar jauh-jauh. Gree juga memamerkan gigi putihnya terhadapku. Giliran Stevi yang menahan tawa karena sesak dan buru-buru ke belakang.

Bahagianya Fito menjadi topik di ulang tahunku. Fito dan Yunita, udah fix. Ngapain di bahas??? Aku nggak cemburu, mungkin lebih tepat dibilang menyesal. Aduh! Nggak kebayang deh kalo frekuensi pesan pengganggu dari Fito berkurang. Senyumnya juga berkurang. Bahkan mungkin nggak bakal ngirim posting lagi ke wall –facebook-ku. Bener-bener nggak rela deh!? Aaargh...
MOZAIK 4

“This’s February, Dear!” Teriak Stevi memekakkan telinga. “And then, we’ll celebrate Gree’s birthday, right?!” Stevi beromong bak Cinta Laura.
Nyebelin! Stevi baru melancarkan aksi sok asiknya pada kelas. Yah, catwalk impiannya. Obsesinya yang bikin orang mengakak tak berujung, membuatnya dicap sebagai pengikut aliranku. Stress.com. Menurutku, Stevi bukanlah gadis gila. Bukankah setiap orang bebas bermimpi? Apa pun keinginan mereka, bukankah itu gamblang adanya? Tanpa larangan? Kurasa, yang menyebut Stevi jadi gadis gila, justru dialah yang gila. Miss World itu impian, loh?! Bukan  bualan belaka... Saat aku membela stevi, teman-temanku sering mengabaikanku.
“Yah, sama aja gilanya... Rena masih blum waras, hahahaaa...” Itulah ungkapan yang bikin hatiku geli. Bahkan Sandra, Gree, hingga Tere tak bisa meyakini Stevi untuk bisa menjadi Miss World.
“Eh, entar lagi valentine, loh?!” Tere membuka cerita tentang Valentine yang bisa kuyakini tak akan dimilikinya bersama kami.
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal, “Rencananya mau ngapain, we?” Tanyaku pada Sandra yang semakin merapat karena ada sedikit dorongan dari bangku Gerry, manusia paling rese sejagad raya.
“Hahaaa, Pandan Carita, yok?” Usul Gree.
Aku menggeleng tak yakin. Yeah, Gree... Buatmu Pandan Carita itu Lokasi yang tabu tapi buatku Pandan Carita itu pasti membosankan. Laut! Bayangin Gree, Laut!! Walopun sbenernya, aku juga blum pernah masuk, sih! Heheheee...
“Boleh-boleh, Gree! Aku blum pernah ke situ, loh?!” Stevi menyuarakan fakta yang ada padaku ..Blum pernah ke situ!
“Asseeekk! Ayok... Ayok...” Tere bersemangat.
“Esssh, ngapain, sih, harus ke Pandan Carita? Knapa nggak ke Bumi Asih aja?” Sandra mengerdip-erdipkan matanya yang diselimuti bulu mata yang lentik.
“Boleh-boleh... Bumi Asih! Hm, mungkin lebih asik daripada di Pandan Carita,” sambung Stevi dengan semangat 45.
Untuk yang kedua kalinya, aku harus mengatakan pada kalian berempat, meskipun hanya di dalam hati bahwa aku sama sekali tak menyukai Laut!! Argh...
“Gimana, Re???” suara Sandra yang besar membuat kepalaku kali ini benar-benar gatal.
“Ha??! Terserah!” suaraku pasrah. Apppaah? Aku bilang terserah? Waduh, kalo bener-bener ke laut, gimana ya?
“Oke-oke, fix, ya? Bumi Asih, assiiikk!” Tubuh Sandra yang tambun memaksa meja di depannya bergeser sedikit ke arah perutku saat dia melakukan sedikit pergerakan. Aih, mak jang! Sakit kali... Asem!
“Eh, sori-sori, Re!” Sandra buru-buru minta maaf.
“Hahaa, critanya gimana nih?” Tere melihatku dan tertawa. Sepertinya dia mengharapkan ideku yang selalu cemerlang ..wushh, narsis!
“Ehhem...” Kupandang wajah mereka berempat yang sudah kejang terkena aliran listrik 5000 Volt. “Begini saudari-saudari...” Aku membuka forum diskusi, “Gimana kalo kita nyiapin satu kado dan blablablaaaa........”
Semuanya terlihat setuju.

“Eh, ajak Fito!” saran Gree betul-betul membuatku gembung mendadak.

***
14 Februari 2010.
Sudah kuduga! Bumi Asih rame kali... Mau di mana duduk, buat acara, ato setidaknya mempersilahkan Fito untuk duduk di tempat yang nyaman??? Akhirnya kami menuju Pandan Carita dengan jalan kaki melewati pesisir sepanjang Pantai Bumi Asih. Panas!
Sampai juga di Pandan Carita dengan kondisi kaki yang sudah bengkak, kulit terbakar, bau matahari, dan tak segar lagi. Kami membuat acara tanpa Tere dan dengan kedatangan Fito bersama 3 orang temannya.
“Halo, Re?!” Fito menyapaku dengan lambaian tangannya yang gugup.
Fito datang? Gimana bisa? Aku gugup ato grogi? Jangankan melihat orangnya, mendengar namanya aja napasku krasa sesak... Aku langsung membelakanginya. Merapikan rambutku yang berantakan karena dihembus angin. Mengibaskan kakiku yang penuh pasir dan mencari-cari minyak wangi ..tapi nggak kliatan! untuk mengusir aroma matahari yang bisa bikin orang sedusun pingsan. Tapi nggak separah itu. Wangi minyak telon yang kupakai masih membekas di badanku, aseekk! Fitooo....
Gree turun ke bawah mengejar Stevi dan Sandra yang sibuk bermain-main dengan ombak. Mungkin dia ingin membertahu kedatangan Fito yang menyukaiku. Fito terlihat malu-malu tapi wibawanya tetap terjaga. Sementara Rasyid, Farandi dan Anggara menggodanya hingga pipinya merah merona. Aku tertawa lebar melihatnya. Fito yang lebih tua dua tahun dariku memang idola di sekolahnya. Tubuhnya yang ramping bak Jang Geun Suk selalu diandalkannya untuk melayang di Basket. Senyumnya manis dan dia sang juara di kelas.
“Padahal kami ada latihan senam aerobik buat ujian akhir, loh?!” Anggara berbisik kecil dan senyum-senyum diikuti Rasyid. Dan Farandi? Dia terlihat kalem.
“Hahaa, betul tu... Gara-gara kau, loh dek!” Rasyid menunjukku genit.
Sandra menggiring Stevi dan Gree menuju posisiku. “Halo, Kak Fito!” sapa Sandra akrab.
Fito langsung berhambur dengan suasana akrab dengan Sandra. “Halo juga, San! Makin cantik aja ko, dek! Hahaaa...”
“Wush hati-hati ko ngomong, Fit! Rena masang tlinga, loh?” Goda Rasyid.
“Loh! Kakak ini, kok, diem aja?” Gree menunjuk-nunjuk Farandi yang belum bersuara.
“Kesal, dek! Tadinya dia lagi di warnet, udah asik gitu... Eh, taunya Fito narek dia kluar buat datang ke sini, Hahahaa...” suara Anggara terdengar sampai memecah langit.
Aku semakin membenci suasana ini. Memandangi wajah Farandi yang entah sedang merencanakan apa untuk memusnahkan aku. Fito melihatku.
“Oke, kuluruskan semuanya. Aku dan Kak Fito hanya berteman!” Pernyataan singkatku membuat semua terdiam. Farandi mengangkat kepalanya perlahan dan melihat Fito dengan tatapan sinis. Tapi aku yakin, itu akan berubah sebentar lagi menjadi lebih baik.
Aku mengemasi barang-barangku dan beranjak keluar dari area Pandan Carita. Semuanya biasa. Teman-temanku menyambung langkahku dari belakang. Mungkin mereka juga meninggalkan bayangan Fito dan teman-temannya. Kami langsung berhambur ke dalam oplet yang berhenti tepat di depan kami. Belum jauh dari lokasi tadi, Fito mengirimku pesan :
Hahaaa. Gamblang kali ya ngomongnya? Rena jadi kliatan lucu, deh?! :D
Aku bingung. Kukira dia bakal sakit hati?!?! Hahaah, Kak Fito emang susah ditebak... Cepat-cepat kubalas pesannya :
Rena         :  Aku juga nggak tau tuh... Kok bisa ya sampe ngomong gitu? :D
Fito           :  Kakak kira Rena marah. Wih, Kakak sampe takut, loh?! Hm, udah nyampe mana? Kok maen tinggal aja???
Rena         :  Hahaah, sori, Kak! Masih lewat bentar dari BuAs...
Fito           :  Oh, hati-hati, ya, Re!
Rena         : Oyah, tadi mau latihan apa?
Fito           :  Senam aerobik, Re.. Tapi batal ^^
Rena         :  :D Harusnya Kakak nggak usah datang..
Fito           :  Ah, biasa aja deh.. Kakak malah seneng bisa liat Rena ^^
Rena         :  Hahahaah...
Fito           :  Daritadi kok ketawa mulu, Re?
Rena         : Nggak apapa, Kak! Lucu aja ^^
Fito           :  Kakak lucu? T.T Padahal udah siap abis-abisan, loh?!
Rena         :  Oh, ya?? Ah, lebay deh Kakak :P
Fito           :  Buat Rena.. Ujian pun Kakak tinggalin ^^ tapi Rena main tinggal aja T.T
Rena         :  Sori ^^.. Kak Farandi knapa, Kak?
Fito           :  Oh, dia kesal sama Kakak ma Anggara juga pas Kakak ngajakin dia ke situ.
Rena         :  Kesal gimana?
Fito           :  Anggara maksa dia, katanya Wisshh, Fito mau ktemu pacarnya, loh?! Masa ko nggak mo bkorban, Ran??! Eh, taunya, Rena bilang, kan, kalo Kakak bukan pacar Rena..
Rena         :  Oh! ^^

Aku tak mengharapkan balasan pesannya. Dan betul! Dia mengerti mauku. Dia tak membalasnya lagi.

***
“Tadi bareng siapa, sayang?” Tanya Mama penasaran sambil duduk di bangku favoritnya.
“Bareng Sandra, Stevi, sama Gree Ma..” Jawabku sambil melangkah ke arah meja makan.
“Oh, ya? Tadi gimana acara?” Tanyanya semakin mengguncangkan isi perutku.
“Hm, seru, Ma!” Wajahku ceria dibuat-buat untuk meyakinkan Mama bahwa ..Tak ada Valentine seperti anak muda yang pacaran.
Hanya perbincangan biasa. Tak ada yang memancing nada tinggi karena semuanya masih bisa kukendalikan meskipun kedatangan Fito membuatku sedikit aneh dan merasa berbeda setelah samapai rumah. Hahaahaa..
MOZAIK 3

Habis sudah harapanku di 2009. Ada 2010 di sini. Terbuka lembar baru untuk senyum baru, suasana baru, wajah baru, baju baru tapi tak memperbaharui suasana hatiku yang lama. 2009 sudah jadi buram, akan berabu dan terbuka lagi di saat yang akan datang. Mungkin tak secepat ini membukanya.

Resolusiku di 2010 adalah mencuci otakku. Melupakan masa-masa suramku, sampe Yanda yang memberi bekas tak berarti di perjalananku. Hah! Skarang kau tak bisa pengaruhiku, Kawan! Bersenang-senanglah dengan kisahmu yang biasa. Aku di sini untuk menjejaki takdirku yang dasyat. Kau cuma tinta yang tumpah. Sungguh hebat kau bisa membuatku pusing. Tapi nggak akan lagi. Hahahaaa...

Aku anak pesisir. Tinggal di daratan Sibolga dengan banyak impian. Di kotaku, sosialisasinya tinggi. Aku termasuk di dalamnya, loh? Tradisinya adalah memberi ucapan kepada semua teman di Hari-hari Besar. Kurasa itu tradisi semua masyarakat Indonesia. Termasuk Tahun Baru. Aku mengirim ucapan untuk semua kontak di handphoneku, dan hal yang paling menyedihkan adalah, bahwa aku juga harus mengirimi Yanda ucapan itu... Aku berusaha menikmati lakunya yang biasa bahkan tak peduli sama sekali.

Hatiku berat saat menekan Yanda Theo Pradana menjadi salah satu penerima ucapanku. Satu hal yang membuatku kesal ..sampe skarang pun, dia nggak ngirim ucapan Selamat Natal yang sudah usang satu tahun lalu. Kuhapus namanya dari daftar. Kukirim ucapan itu cepat-cepat dan menyembunyikan handphoneku di bawah bantal agar aku tak mengirim ucapan itu juga pada Yanda. Hm. Lakuku memberontak inginku. Tetap saja, aku tak tega melihat nama Yanda gamblang tak disentuh dan kukirimi dia ucapan. Tak lama...

Yanda      :  Hi, Slamat Tahun Baru 2010, ya? Gimana kabarmu? J 

Apa-apaan ini? Knapa kau meresponku? Argh, liat aja, nggak bakal kubalas! Lagi-lagi lakuku tak seiya dengan omongku. Tetap saja aku tak tega melihat balasan Yanda yang akan kudelete tanpa mereplynya lagi.
Rena         :  Kabar baik. Ko gimana?
Yanda       : Hahaah, slalu baik kok... Lama nggak smsan samamu. Heheeeh, liburan kmana?  
Rena         :  Iya, udah lama, loh?! Ke Bekasi, ko?
Yanda       :  Hm, cuma jalan-jalan ke Samosir... Enak ya bisa ke Bekasi...
Rena         :  Hahaah, biasa ajalah   Udah lama di Samosir?
Yanda       :  Nggak juga... Ni lagi perjalanan, kalo kau gimana?
Rena         :  Hahaa... Udah sminggu   Nice trip, ya?!
Yanda       : Yahahaa, ko juga ya.. 

Dialog singkat yang memakan waktu 3 jam untuk menunggu balasan-balasannya. Mungkin dia emang nggak mood smsan samaku . Sbenernya aku pengen buat dialog yang lebih panjang lagi.

Masih kuingat, belum lama ini, aku menghindari Yanda dengan membuang nomor lama. Mengganti perdana As dengan Im3. Di saat yang tidak tepat, dia mengirimku pesan,
Yanda       :  Hai...
Rena         :  Siapa nih???
Yanda       :  Yanda  ...

Saat itu, jantungku tak karuan berdetak. Sangat aktif hingga aku berkeringat di musim hujan. Ada rasa kesal yang mendalam tapi persentase kesenanganku jauh lebih besar dibanding kekesalanku. Sesungguhnya, aku tak mau tau darimana Yanda mendapat nomor baruku. Sumpah! Aku senang kali...
Rena         :  Hm, ada apa? Dapet nomorku dari siapa?
Yanda       :  Nggak apapa sih...   Aku dapet dari Friska...

Emang udik si Bawel yang satu itu. Tapi nggak apapa deh, aku malah senang dia punya usaha dapetin nomorku, hehehee.. Tapi aneh! Nomor yang dia gunakan sama sekali berbeda dengan nomor yang masih kusimpan yang kurasa masih aktif dan akan aktif untuk selama-lamanya.
Rena         :  Ko bukan Yanda kan?
Yanda       : Benerean... aku Yanda :)
Rena         :  Tapi nomormu beda, loh?! Nih bukan nomor Yanda...
Yanda       :  :) ko kan pake Im3, jadi aku pake Im3, biar sama slalu...
Rena         :  :s [???]

***

Ekspresi kesalku memang tak karuan tapi sebenarnya aku senang dia mengungkapkan itu. Ungkapan yang buat aku melayang sampai menembus langit ke tujuh. Heheeeh... Saat itu kami dekat sekali dan tanpa alasan tiba-tiba renggang kembali.


Selamat Tahun Baru 2010 Sdri. Ann Renatha.
Sender: [Leo Kenan]
+62857xxxxx190 
 Received: 01.09.37pm 
 Today

Aku terkejut menerima pesan singkat ini. Pesan yang dikirim orang yang hampir kulupakan karena ingatan tentang Yanda. Dengan malasnya, aku membalas setiap pesannya yang tak kuingini itu. Aku tak menyukainya. Apalagi dengan sikapnya yang plin-plan dalam membentuk relasi pertemanan. Dia sekelas dengan Gilbert Oloan Caesar. Seangkatan dengan Fito Kashogi yang kukagumi karena gemilangnya dia di Olahraga Basket. Belum lagi, aku harus menghadapi Lukas Martino, teman sekelasnya yang menyukaiku. Tapi, jujur, aku lebih senang berteman dengan Lukas yang rendah hati daripada Leo yang arogannya sama dengan Gilbert.

Ada juga ucapan Sandra Veronika, Stevi Oviria, Gree Elisabeth dan Theresia Monika Natalia yang datangnya berurutan tanpa skenario. Mereka teman-teman dekatku yang kutemui setelah masuk jenjang SMA.

Tiba-tiba aku ingat Federick Carlos, teman sekelasku. Dia bocah tengik yang sudah menipu satu kelas dengan wajahnya yang sok lugu padahal kreak abis, rese, pokoknya gila, hahahaaa... Aku suka senyum-senyum sendiri kalau mengingat wajahnya yang sungguh menjijikkan.

Tok... Tok... Tok...

Seseorang membuyarkan lamunanku tentang udiknya wajah Carlos. Kubuka pintu kamar yang terkunci. Di balik pintu ada Monik, kakak sepupu Ervin yang bekerja untuk Tulang Besarku.

“Non, disuruh makan siang sama Tante...” Dia tersenyum.

Mungkin orang Flores punya produksi senyum yang membludak, ya?! Udaku juga gitu, setiap menyebut nama kami, pasti dia tersenyum. Aneh! “Ha? Oke-oke...” Aku menutup pintu yang tak terbuka lebar.

Aku merapikan rambut dan melangkah keluar. Kudapati meja makan yang sudah dihuni oleh Bapak, Mama, Tulang Kecil, Uda, Tante, Irene, Kak El ..Bang Fe sama Anggi mana? Aku menarik satu bangku untuk membuka. Kududuki dan semua terdiam. Kuteguk air putih di depanku, kuperhatikan Ervin dan Monik sibuk meletakkan piring-piring ‘berisi’ di atas meja.

Waktu pertama aku melihat rumah ini sudah berdiri tegak dengan gagahnya, aku terkesima lihat pengabdian  dua orang anak gadis ini, dua orang satpam, dan beberapa tukang sekaligus pengurus pekarangan rumah yang benar-benar luas.
Sampai-sampai aku ingin mengajak mereka mengobrol satu per satu. Tapi tak bisa dipungkiri, pekerjaan mereka lebih penting daripada mengobrol dengan tamu seperti aku. Whateverlah! Namun sekarang, aku ingin cepat-cepat kembali ke Sibolga. Rindu udaranya yang tak menyesakkan seperti ini. Aaah, aku bosan!! Di sini, kehidupan sungguh kejam. Yang beruang yang berkuasa. Kesenjangan sosial sangat mencolok. Di Sibolga??? Tidak begitu! Semua sama...
MOZAIK 1

Bukankah di setiap bulan September terjadi badai di Sibolga? Perhatikan, bukankah pelaut berlindung dengan tidak berlayar selama itu? Kalian tau? Produksi ikan laut menurun drastis saat itu. Ya, aku tau setelah salah seorang kakak kelasku berkisah tentang angin yang terjadi di kota Berbilang Kaum.

Selalu teriring dengan benci, Ingatanku di 2009. Saat aku dan seangkatanku memasuki jenjang menengah atas, termasuk Yanda Theo Pradana. Seseorang di 22 Desember. Mengesalkan jika aku harus kembali mengingat-ingat janjiku di bulan Juli setelah masuk Ajaran Baru. Mudah-mudahan dia lupa. Harus kuingkari lagi dan lagi-lagi aku merasa tersakiti setelah menyakiti.

“Hahaa, kita masih kecil, loh?! Masih limablas tahun! Masa pacaran?”  Itu adalah kalimatku yang paling ampuh untuk menolaknya.

“Iya, kutunggu sampe kau siap jadi pacarku..” jelasnya dengan suara lirih.

Lucu tapi menyebalkan. Kata menunggu yang selalu ditampikkan secara halus untukku tak bertahan. Mungkin hanya berumur  49 hari, setelah itu? Tak terbayangkan saat dia sendiri yang mengungkapkannya. Dengan santainya, dia mengirimku pesan.

“Re, gimana sih caranya minta maaf sama cewek?” singkat tapi meruapkan bulu kudukku.

“Cewek? Maksudmu samaku?” tanyaku polos.

“Bukan, ni buat pacarku!” balasnya santai.

Aku tak tau pasti bagaimana ekspresinya saat mengutarakan itu padaku. Yang pasti dia tak tau, emosiku memuncak tapi aku berusaha untuk tetap biasa.

“Aku nggak tau, Yan! Tanya ma yang lain aja. Mungkin mereka tau solusinya,” Aku berusaha kuat menekan tombol-tombol handphoneku dan menyembunyikannya langsung di balik bantal.

Sebenarnya, aku penasaran siapa pacarnya yang dia maksud. Tapi buat apa? Hanya buat sakit hati. Tak lama dari situ, Friska memberitahuku tentang Ibetha Dewantari. Sungguh biasa! Tak ada yang lebih dari standar. Tapi siapa sangka, seorang Yanda Theo Pradana berselera sebatas itu. Necis! Pada umumnya, necis jauh di atas simpel tapi buatku necis masih diinjak simpel.

Friska selalu bersemangat memanas-manasi aku tentang kedekatan mereka. Bukankah hal yang wajar mereka dekat? Mereka kan pacaran?! Sesuai namanya Gabby La Friska, selalu usil tentang keadaanku dan Yanda.

“Kau tau, Re? Pacarnya itu cantik, loh?! Hihiii...” ungkap Friska setiap meneleponku.

“Trus, apa hubungannya denganku?” tampikku ketus.

“Nginfoin doang, hehehee...” cengirnya mau mati.

Aku tak tau sampai seberapa lama hubungan mereka. Yang kudengar hanya kedekatan yang semakin menjadi-jadi. So what? Aku juga tak tau. Mungkin cemburu. Nggak! Aku nggak cemburu. Hm, sedikit kesal, mungkin!
Badai dan hujan di September memang sangat tepat untuk menggambarkan kekesalanku. Bukan hanya ‘kedekatan’ itu tapi sikap Friska yang selalu menyudutkanku saat aku, dia, dan Yanda conference dalam satu sambungan. Sikap Yanda yang dingin dan terkesan selalu sakit hati terhadapku membuatku ingin mencekik leher-leher pelakon drama sinting saat itu. Aku selalu mengalah untuk mengajaknya ngobrol duluan. Seandainya dia tau, saat itu, aku pengen maki dia sampe mulutku nggak bisa bicara lagi.

“Halo?” Sapaku melalui koneksi.

“Hey, Yanda! Ngomong dong... Percuma, deh, kalo aku nelpon kau tapi tetep diem, hahaaahh...” nyata Friska sambil tertawa menggoda.

“Ya, halo??!” suara Yanda terdengar berat tapi pasti.

Mungkin cuma Tuhan yang tau, aku senang saat mendengar suaranya. Meskipun hanya say hallo and then? Yeah, you can imagine it. Yanda bungkam tak berkata lagi. Mungkin dia juga ingin melakukan hal yang sama denganku. Memaki dia yang di seberang. Dan begitulah suasana saat semuanya berada dalam  satu koneksi.
 ABSTRAK KAGUM MERUPAKAN AWAL

Abstrak...

Lengah memutar cerita pertama di 22 Desember 2008. Mungkin hanya aku yang mengingat kejadian itu saat dia rela memanggilku dengan panggilan Kakak+Sayang. Lucunya tak kepalang tanggung. Bukan hal yang tabu jika remaja seusiaku dulu, 14 tahun doyan berbual tentang cinta.

Ada hal yang membuat cerita itu tertunda. Seseorang di 5 September 2006 di dalam hidupku masih menyisakan bayangannya. Sungguh udik! Aku merasa terjerat dalam kekaguman. Bukannya aku menyimpan rasa. Mungkin Teori Kagum merupakan Awal yang selalu dicetuskan Carlos setelah aku berteman dengannya adalah benar. Entah kenapa, aku harus mengagumi sifat arogannya. Gilbert Oloan Caesar, Mantan kekasih! Hah! Sudah lama ingatan itu kubuang jauh-jauh tapi tetap setia bertengger di pikiranku.

Ada kisahku di 2009. Teman? Mungkin hanya teman. Aku iba melihatnya menerima abaianku. Atau aku yang seharusnya dikasihani? Dulu, aku yang mengagumi dia tapi setelah aku mengenalnya dari rambut hingga ke telapak kaki, simpatiku berkurang. Masih kuingat, ada Ibetha Dewantari yang ‘memiliki’nya di saat bualannya masih mengepung hatiku. Mungkin tak sengaja dia miliki. Sungguh terencana! Hubungan apa itu?

“Kau ragu? Bukankah, di setiap obrolan, aku slalu meyakinkanmu, Re?” Pernyataan yang sudah biasa keluar dari mulutnya. Mungkin dia pernah kursus membual atau ada darah Pembual di tubuhnya. Aku tak tau!
Ada lagi! Kisahku paling indah di 2010. Seseorang di 14 Februari, merelakan ujian akhirnya untuk menemuiku. Fito Kashogi. Sungguh mengesankan. Tapi aku tetap saja susah  mengatakan ‘iya’ untuk menjadi kekasihnya. Selalu berbekas di relung hatiku tapi entah kenapa harus kusakiti. Aku hanya mengaguminya dan tak ingin kekaguman itu menjerumuskanku lagi untuk hal-hal yang dianggap pemuda seangkatanku LEBIH DARI TEMAN BIASA. Menyakitkan!
Setelah Februari adalah Maret. Ya, kuingat dia kembali di 22 Desember 2008. Maretnya berlalu tanpa kunikmati, hingga Aprilku berkunjung. 19 April 2010! Dia menjadi orang pertama yang memadati inbox handphoneku dengan ucapan SELAMAT. Buat apa dia datang lagi? Mungkin bagi orang yang bersamaku selama 2010 menyebutku munafik. Sebutan yang sangat tepat! Tapi bukan dia yang kutunggu. Aku selalu merindukan Fito Kashogi yang mungkin sudah tercatat dalam sejarahku sebagai motivator yang luar biasa. Dia sangat mirip dengan Sauqi Haidir Al Fathir, bocah kelas 6 SD yang jenius yang kukenal waktu aku masih kelas 4.
(semua tentang 22 Desember 2008 lalu)

Tergores kisah sepi di 2011. Tahun pendewasaan bagi tiap makhluk di Shio Anjing. Ada hasrat ingin berubah di sanubariku. Mungkin sudah kukikis jantungku untuk menjadi dewasa yang sejati. Hingga 3 Maret 2011 aku berusaha menikmati keindahan lakunya yang lalu. Aku berharap menjadi orang terakhir yang mengisi jam terakhir di penggenapan angka ke 17nya. Tak banyak yang kuminta. Hanya berbaikan dengannya, melupakan rasa sukaku, ataupun rasa sukanya, dan kembali menjadi temannya. Ya! Balasannya biasa seakan kami tak ada masalah. Aku pun berusaha tetap biasa tak tak terlihat berharap. Sesaat demi sesaat, kehidupan berputar. Ada kisah lain yang tertoreh di bulan Iyar (April). Bukan cintaku ataupun cintanya. Hanya menggali rasa yang terkubur di masa lalu. Aku sempat menyesali kedatangannya kembali. Aku sempat membenci diriku sendiri. Tapi hatiku tak mampu ingkari keadaan INI YANG KURINDU SELAMA AKU MENGENALNYA.

19 April 2011! 00.05 masih kuingat, jam handphoneku melukis angka itu. Dia tak hadir... Kukira dia menjadi pertama. Di pertengahan hari aku masih berharap dan memaklumi kesilapannya terhadap hari itu. Terpikir, mungkin dia tak ingini jadi yang pertama atau yang terakhir bagiku. Mungkin hanya menjadi orang biasa... Tak apa! Tapi aku sangat berharap sesuatu dia ketik untukku. Namun, tetap tak ada! Aku pasrah, dia pasti melupakannya. Hingga kelam 19 April berlalu, tak kupejamkan mataku hingga di penghujung hariku. Seorang yang lain yang mengingatkanku untuk dewasa. Bukan dia, bukan dia, selamanya bukan dia!! Beberapa saat lagi, keutuhan hariku musnah. Dia tak hadir??? Biarlah. Aku tak lagi mengharap padanya.

Hari ini adalah esok kemarin. Kabarnya tak ada hingga esoknya dia kembali, menagih sesuatu padaku... Sangat kuingat, dia abaikan nada suaraku yang berharap. Dia mengingat hari ini saat seseorang di masa lalunya terlintas. Aku cemburu! Tapi tetap tak apa... Aku ingin memaki keadaan dan dirinya. Tapi aksiku tak sebesar rencanaku. Aku tak sanggup sakiti hatinya dan beritahu sakitnya aku. Dan sejak itu DIA TEMANKU J...
Anggapan yang salah! Hanya teman, tapi telah menghancurkanku. Saat ada mata dan mulut yang senang atas keterpurukanku. Selembar bukti yang menjatuhkanku. Sungguh! Aku belum bisa menjadi orang yang di bawah. Ingin kukoyak dinding hatiku agar tangisanku menjerit. AKU GAGAL!! Saat yang menghancurkanku. Urutan 8 akan selalu tergores di riwayatku. Aku tak dapat menyalahkannya sesuai sumpahnya. Semua tertawa dalam hati. Aku yang dulu tak terbukti! Aku rela, tapi dia malah ikut memojokkanku dengan ungkapan betapa bodohnya aku.

Bulan Juni yang kunanti hadir. Dia datang lagi dengan berjuta bualan cintanya. Sungguh menggugah! Keyakinanku terlahir lagi. Aku pasti akan hancur untuk kali ini dalam Penentuan Akhir. Aku yakin! Aku yakin! Aku tak ingin seusai 10 Juni berhadir di hadapanku. Apalagi 18 Juni sigap untuk mempermalukanku. Aku ingin kabur dari suratan takdirku. Aku ingin bersembunyi dari kenyataan... Tapi Seseorang menyinari aku. Menguatkan aku saat air mataku jatuh sia-sia, saat tak ada satu pun yang tau aku menyudut dan memukul diriku sendiri, saat aku ingin meniadakan namaku lagi di Bumi. Saat keinginanku timbul untuk menghapus ingatan tiap orang yang mengenalku. Aku abaikan semua nafsu kehancuran yang kurencanakan untuk diriku sendiri...

Kembali di hari biasa. Saat yang tepat! 18 Juni, tak ada yang berubah. RENCANAnya hanya imingan belaka. Aku kesal! Tapi tak apa, karena dia bukan siapa-siapa dan tak berarti.

Sungguh kebodohan merajai pikiranku. Aku merasa bersalah padanya? 913 kali Bumi berotasi tak ada jawabanku dan dia menunggu... Bukan itu! Tapi aku masih punya rasa yang sama dengannya. Aku ingin bungkamkan rahasia hati. Aku malu! Serasa, sanubariku meluap keluar ingin diungkap. Dan itu pagi...suasana yang membuyarkan penyerahan diri. Sungguh tak berhikmat! 19 juni 2011. Aku sedikit berbicara, sangat tidak biasa... Otakku terus berpikir. Berharap hati kecilku bukan penguasa lakuku. Kudekap tubuhku yang basah keringat, kujamah jantungku yang tak sedamainya, kucermin wajahku yang masih belia. Akhirnya kunyatakan bahwa aku tak sanggup untuk mengungkap. Sungguh sore yang malang. Kumenanti untuk kegelapan. Berharap, suasana mampu mendamaikan kegentaranku. Tapi semburan hawa malam membuatku takut tuk menyatakan bahwa AKU JUGA MENYAYANGINYA! Aku takut terabaikan, aku takut dihina dan terbuang... Namun, kesungguhan hatiku mengalahkan pikiran kotorku.